A.
Pengertian
Anak Zina (JADDAH)
Anak Zina
ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah; sedangkan perkawinan yang
dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaan, dan dicatat
menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku (vide pasal 2(1) dan (2)
UU. No. 1/ 1974). Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat dari
KUA untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum Islam,
sedangkan untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil ( vide pasal 2 (1) dan (2) PP.
No. 9/ 1975 tentang pelaksanaan UU. No. 1/ 1974 tentang perkawinan.
Berdasarkan
ketentuan pasal – pasal dan ayat – ayat tersebut diatas, maka perkawinan
penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut hukum Islam misalnya, tetapi tidak
dicatat oleh pegawai pencatat dari KUA, atau perkawinan yang dicatat oeh
pegawai pencatat dari Kantor Catatan Sipil, tetapi perkawinan tersebut tidak
dilakukan menurut hukuman agamanya dan kepercayaannya; maka perkawinan yang sah
itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide
pasal 43 (1) PP. No. 9/1975.
Menurut
Hukum Perdata Islam, anak zina/ jadah itu suci dari segala dosa orang yang
menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad:
كُلُّ
مَوْلُوْدٍ يُوْ لَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَانُهُ
فَاَبَوَاُه يُهَوِّ دَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Semua anak dilahirkan atas kesucian/
kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia
jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi
Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. (Hhadis riwayat Abu Ya’la, Al – Thabrani,
dan Al – Baihaqi, dari Al – Aswad bin Sari’.
Dan berdasarkan firman Allah dalam
surat Al – Najm ayat 38:
ٲلاَ تَزِرُ
وَا زِرَةٌ وِّزْرَاُخْرَى
Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain.
Karena itu,
anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran,
dan ketrampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat nanti. Yang
bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, materiil dan spiritual
adalah terutama ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya yang
melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan
nasab atau perdata dengan ibunya.
Apabila
ibunya yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan sampai hati membuangnya
untuk menutup malu/ aib keluarga, maka siapa pun yang menemukan anak (bayi)
zina tersebut wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Keluarga yang
menemukan bayi terlantar akibatdari pada hubungan gelap orang – orang yang
tidak bertanggung jawab, wajib mengasuhnya dan mendidik baik – baik, dan untuk
mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, bisa atau harta pribadi keluarga
tersebut dan bisa juga atas bantuan Baitul Mal. Dan bisa juga anak
tersebut diserahkan oleh keluarga tersebut kepada Panti Asuhan Anak Yatim.
Hanya perlu dicatat tidak baik cara mengasuh dan mendidiknya, atau tidak dpat
dipercaya dalam penggunaan bantuan keuangan dari Baitul Mal dan dari
masyarakat Islam, maka wajib dicabut hak perwaliannya atas anak itu, dan
pemerintah wajib mengurusi, mengawasi, dan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perlu
ditambahkan, bahwa anak yang lahir sebelum 6 bulan dari peerkawinan, maka “sang
ayah” berhak menolak keabsahan anak itu menjadi anaknya, sebab masa hamil yang
paling sedikit berdasarkan Al – Qur’an surat Al – Baqarah ayat 233 dan surat
Al- Ahqaf ayat 15 adalah 6 bulan. Sedangkan masa hamil yang terlama dari
seorang wanita tiada nash yang jelas dalam Al – Qur’an dan Sunah. Pendapat
fuqaha tentang masalah ini berbeda – beda mulai dari 9 bulan menurut mazhab
Dzahiri, setahun menurut Muhammad bin Abdul hakam al – Maliki, dua tahun
menurut mazhab hanafi, emapt tahun menurut mazhab Syafi’I, dan lima tahun
menurut mazhab Maliki. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena hanya
didasarkan atas informasi dari sebagian wanita yang dijadikan responden, yang
belum tentu mengerti ilmu kesehatan, khusunya tentang ilmu kandungan. Maka
karena itu di Mesir berdasarkan UU. No. 25 Tahun 1929 pasal 15 menetapkan masa
hamil paling lama satu tahun syamsiyah (365 hari)setelah mendengarkan
pertimbangan dari para dokter yang juga ahli hukum dengarkan pertimbangan dari
para dokter yang juga ahli hukum Islam. Menurut hemat penulis, pendapat Dzahiri
adalah yang paling mendekati kebiasaan/ pengalaman wanita hamil (berdasarkan
realitas dan empirik), sedangkan hukum positif di Mesir (1 tahun) adalah untuk
bersikap hati – hati atas kemungkinan adanya kehamilan yang cukup lama
sekalipun langka. Kiranya sekedar untuk bersikap hati – hati, cukuplah kiranya
masa hamil menurut mazhab Dzahiri itu diatambah sebulan menjadi 10 bulan tahun
syamsiyah, demi menjaga kepastian hukum. Sebab norma hukum itu hanya mengatur
dan menetapkan hal – hal yang umum, bukan kejadian – kejadian yang jarang /
langka adanya.
B. Akibat Hukum
Jika seorang
anak telah dihukumkan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan sebagaimana
disebutkan diatas, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan
kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan ayah/bapak alaminya
(genetiknya), yaitu:
- Hubungan Nasab
Pasal 100
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan, dinyatakan bahwa anak
yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya saja.
Hal demikian
secara hukum anak tersebut saama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada
ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut
merupakan laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.
Meskipun
secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang
diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya dengan laki-laki
yang menjadi ayah genetik anak tersebut, namun ketentuan demikian dinilai
menjunjung tinggi keluhuran lembaga perkawinan, sekaligus menghindari
pencenaran terhadap lembaga perkawinan.
- Nafkah
Oleh karena
status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya semata, maka yang wajib memberikan nafkah anak tersebut
adalah ibunya dan keluarga ibunya saja.
Sedangkan
bagi ayah/bapak alami (genetik), meskipun anak tersebut secara biologis
merupakan anak yang berasal dari spermanya, namun secara yuridis formal
sebagaimana maksud Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam diatas, tidak mempunyai
kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak tersebut.
Hal tersebut
berbeda dengan anak sah. Terhadap anak sah, ayah wajib memberikan nafkah dan
penghidupan yang layak seperti nafkah kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya
kepada anak-anaknya, sesuai dengan penghasilannya, sebagaimana ketentuan Pasal
80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali
perkawinan.
Apabila ayah
dan ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan memberi nafkah
kepada anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana maksud Pasal 105
huruf (c) dan Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun
dalam kehidupan masyarakat ada juga ayah alami/genetik yang memberikan nafkah
kepada anak yang demikian,maka hal tersebut pada dasarnya hanyalah bersifat
manusiawi, bukan kewajiban yang dibebankan hukum sebagaimana kewajiban ayah
terhadap anak sah. Oleh karena itu secara hukum anak tersebut tidak berhak
menuntut nafkah dari ayah/bapak alami (genetiknya).
- Hak – Hak Waris
Sebagai
akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan, maka anak tersebut
hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya saja,
sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam : “ anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya
dan keluarganya dari pihak ibunya”. Dengan demikian, maka anak tersebut secara
hukum tidak mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan ayah/bapak alami
(genetiknya).
- Hak Perwalian
Apabila
dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat darti perbuatan zina (diluar
perkawinan)tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan
menikah, maka ayah/bapak alami (genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi
wali niksahnya, sebagaimana ketentuan wali nikah dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum
Islam :
- Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
- Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, aqil dan baligh.
Ketentuan
hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak luar nikah tersebut,
sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir diluar pernikahan yang
sah sebagaimana disebutkan diatas.
C. Kesimpulan
- Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal istilah “anak zina” tetapi mengenal istilah “anak yang lahir diluar perkawinan” yang statusnya sama dengan anak hasil hubungan suami isteri antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat tali perkawinan yang sah, yang meliputi anak yang lahir dari wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya, atau anak syubhat kecuali diakui oleh bapak syubhatnya.
- Anak yang lahir diluar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya) begitu juga ayah/bapak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan.
- Jika anak yang lahir diluar perkawinan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah Wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali nasab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar