PENDAHULUAN
Dalam sketsa pemikiran
hukum bahwa Qiyas merupakan suatu metode penetapan hukum menempati posisi
keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul fiqh). Para ulama’ dan praktisi
hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode Qiyas
ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dilihat dari konteks
sejarah ada kecenderungan bahwa metode Qiyas adalah berawal dari logika
filsafat Aristoteles yang berkembang di Yunani kemudian ditrasnformasikan
menjadi khazanah kebudayaan islam pada masa al makmun. Secara metodologi dan
operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan
peristiwa lainnya yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya
persamaan kausa hukum (illat).
Imam Syafi’I sebagai perintis pertama metode
Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada Qiyas.
Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat
syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukum
ashl, furu’, dan illat. Apalagi
dalam mencari illat hukum, karena untuk mencarinya harus memiliki kualitas
intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk hukum
fiqh yang bertumpu pada metode Qiyas, seperti kasus klasik dalam pengangkatan
Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah, penerapan zakat profesi, dll.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
definisi dan kehujjahan dari al-Qiyas?
2. Apa
saja macam-macam dari al-Qiyas?
3. Bagaimana
penyelesaian Dalil-dalil yang berbenturan?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui definisi dan kehujjahan al-Qiyas.
2. Untuk
mengetahui Macam-macam al-Qiyas.
3. Untuk
mengetahui penyelesaian Dalil-dalil yang berbenturan.
PEMBAHASAN
A.
Definisi dan Kehujjahan
al-Qiyas.
Qiyas menurut Ulama’ Ushul Fiqh adalah menghubungkan suatu
kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam
hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu
dalam illat hukumnya.[1]
Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum
mengenai suatu kejadian, dan telah diketahui illatnya itu dengan metode di
antara metode-metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian terdapat nashnya
dalam illat seperti illat hukum dalam kejadian itu, maka kejadian lain itu
harus di samakan dengan kejadian yang ada nashnya dalam hukumnya dengan dasar
menyamakan dua kejadian tersebut dalam illatnya karena hukum itu dapat
ditemukan ketika telah ditemukan illatnya.[2]
Contoh Qiyas Syar’iyyah
dan Qiyas wadh’iyyah sebagai berikut:
1. Meminum
Khomr (Arak) adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash,yaitu
hukum haram yang diambil dari pengertian sebuah ayat: Q.s al-maidah ayat 90.
Karena adanya illat memabukkan. Maka setiap arak yang
terdapat padanya illat memabukkan, disamakan dengan khomar mengenai hukumnya,
dan haram hukumnya.
2. Pembunuhan
yang dilakukan oleh ahli waris terhadap yang mewariskan, adalah kejadian yang
telah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu melarang pembunuh dari memperoleh
harta pusaka yang diambil dari sabda nabi Muhammad saw:
“tidaklah
mendapat bagian harta pusaka, seorang yang melakukan pembunuhan”.
Karena adanya illat bahwa pembunuhan itu menyegerakan
sesuatu sebelum waktunya, maka tidaklah dibenarkan tujuan itu, dan dihukum
dengan tidak memperoleh bagian harta pusaka. Sedangkan pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang yang menerima wasiat kepada yang memberi wasiat, terdapat
pada illatnya tersebut, maka diqiyaskanlah dengan pembunuhan yang dilakukan
oleh pewaris terhadap orang yang mewariskan. Karena itu, terhalangnya orang
yang diwasiati itu untuk memiliki barang yang diwasiatkan, lantaran dia
membunuh orang yang memberi wasiat.
Kehujjahannya menurut jumhur para Ulama’ Islam, bahwa
Qiyas adalah juga hujjah syar’iyah atas hukum-hukum mengenai perbuatan manusia
(amaliyah), dan ia menduduki martabat yang keempat di antara hujjah-hujjah
syar’iyah. Apabila tidak didapati dalam suatu kejadian itu, hukum menurut Nash
atau Ijma’, akan tetapi terdapat kesamaan illat dengan suatu kejadian yang
telah terdapat hukumnya dalam Nash, maka diqiyaskanlah kejadian yang pertama
itu kepada kejadian yang kedua, jadi diberi hukum menurut hukumnya, dan hukum
ini adalah ketetapannya menurut syara’. Jadi orang Mukallaf harus mengikuti dan
mengamalkannya. Sedangkan para jumhur Ulama’ tersebut disebut sebagai orang yang
menetapkan Qiyas (MutsbitulQiyas).
B. Macam-Macam
al-Qiyas
1. Qiyas
awlawi adalah Qiyas yang illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum
yang disamakan (cabang) mempunyai hukum yang lebih utama daripada hukum yang
ada pada al-aslu karena kekuatan illat pada
furu’.
Umpamanya mengiyaskan keharaman
memukul orang tua kepada ucapan “uf”, “uh”, “his”, “busyet” (berkata kasar)
terhadap orang tua dengan illat menyakiti.
Hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam surat al-Isra’ ayat 23.
Yang
artinya “ Maka sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya (orangtua) perkatan
“uh”, dan janganlah kamu membentak mereka.
2. Qiyas
musawi adalah Qiyas yang berlakunya
hukum pada furu’ sama keadaannya
dengan berlakunya hukum pada ashal karena
kekuatan illatnya sama.
Umpamanya mengiyaskan membakar harta anak yatim kepada
memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haramnya. Hal ini dalam
difirmankan oleh Allah swt dalam surat an-Nisa’ ayat 2.
Yang
artinya “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu
makan harta mereka.
3. Qiyas
adwan adalah Qiyas yang berlakunya
hukum pada furu’ lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal
meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
Umpamanya mengiyaskan apel kepada gandum dalam
menetapkan berlakunya riba fadhal bila
dipertukarkan dengan barang yang sejenis. Illatnya bahwa ia adalah makanan.
Memberlakukannya hukum riba pada apel lebih rendah dari pada berlakunya hukum
riba pada gandum karena illatnya lebih kuat.[3]
C. Penyelesaian
Dalil-dalil yang Berbenturan.
Dalam upaya penyelesaian perbenturan antara dua dalil
hukum, para Ulama’ ushul fiqh bertolak pada suatu prinsip yang dirumuskan dalam
kaidah:
”Mengamalkan
dua dalil yang berbenturan lebih baik dari pada menyingkirkan satu diantaranya”.
Ada tiga tahapan penyelesaian yang
tergambar dalam kaidah itu:
1. Sedapat
mungkin kedua dalil itu dapat digunakan sekaligus, sehingga tidak ada dalil
yang disingkirkan.
2. Setelah
dengan cara apapun kedua dalil itu tidak dapat digunakan sekaligus, maka
diusahakan setidaknya satu diantaranya diamalkan, sedangkan satu ditinggal.
3. Sebagai
langkah terakhir, tidak dapat dihindarkan kedua dalil itu ditinggalkan, dalam
arti tidak diamalkan keduanya.[4]
PENUTUP
Kesimpulan
Qiyas
menurut Ulama’ Ushul Fiqh adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada
nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah
ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat
hukumnya.
Contoh Qiyas Syar’iyyah
dan Qiyas wadh’iyyah sebagai berikut:
1.
Meminum Khomr
(Arak) adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash,yaitu hukum
haram yang diambil dari pengertian sebuah ayat: Q.s al-maidah ayat 90.
Macam-Macam al-Qiyas
1.
Qiyas awlawi adalah Qiyas yang illahnya mewajibkan adanya hukum.
2.
Qiyas musawi adalah Qiyas yang berlakunya
hukum pada furu’ sama keadaannya
dengan berlakunya hukum pada ashal karena
kekuatan illatnya sama.
3.
Qiyas adwan adalah Qiyas yang berlakunya hukum
pada furu’ lebih lemah dibandingkan
dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun
qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir.Syarifuddin,Ushul
Fiqh,(Jakarta:KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2008).
Abd
Wahhab Khallaf,kaidah-kaidah hukum
islam,(Jakarta:Rajawali Pers,1979).
[1]
Abd Wahhab Khallaf,kaidah-kaidah hukum islam,(Jakarta:Rajawali
Pers,1979)hlm 76.
[2]
Abd Wahhab Khallaf,kaidah-kaidah hukum islam,(Jakarta:Rajawali
Pers,1979)hlm 77.
[3]
Amir.Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2008)hlm. 157
[4]
Amir.Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2008)hlm. 227
Tidak ada komentar:
Posting Komentar