Senin, 05 Juni 2017

Makalah tentang hukum islam Qiyas



PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam sketsa pemikiran hukum bahwa Qiyas merupakan suatu metode penetapan hukum menempati posisi keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul fiqh). Para ulama’ dan praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dilihat dari konteks sejarah ada kecenderungan bahwa metode Qiyas adalah berawal dari logika filsafat Aristoteles yang berkembang di Yunani kemudian ditrasnformasikan menjadi khazanah kebudayaan islam pada masa al makmun. Secara metodologi dan operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum (illat).
 Imam Syafi’I sebagai perintis pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada Qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukum ashl, furu’, dan illat. Apalagi dalam mencari illat hukum, karena untuk mencarinya harus memiliki kualitas intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk hukum fiqh yang bertumpu pada metode Qiyas, seperti kasus klasik dalam pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah, penerapan zakat profesi, dll.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dan kehujjahan dari al-Qiyas?
2.      Apa saja macam-macam dari al-Qiyas?
3.      Bagaimana penyelesaian Dalil-dalil yang berbenturan?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui definisi dan kehujjahan al-Qiyas.
2.      Untuk mengetahui Macam-macam al-Qiyas.
3.      Untuk mengetahui penyelesaian Dalil-dalil yang berbenturan.






PEMBAHASAN
A.    Definisi dan Kehujjahan al-Qiyas.
Qiyas menurut Ulama’ Ushul Fiqh adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.[1]
Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kejadian, dan telah diketahui illatnya itu dengan metode di antara metode-metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian terdapat nashnya dalam illat seperti illat hukum dalam kejadian itu, maka kejadian lain itu harus di samakan dengan kejadian yang ada nashnya dalam hukumnya dengan dasar menyamakan dua kejadian tersebut dalam illatnya karena hukum itu dapat ditemukan ketika telah ditemukan illatnya.[2]
Contoh Qiyas Syar’iyyah dan Qiyas wadh’iyyah sebagai berikut:
1.      Meminum Khomr (Arak) adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash,yaitu hukum haram yang diambil dari pengertian sebuah ayat: Q.s al-maidah ayat 90.
Karena adanya illat memabukkan. Maka setiap arak yang terdapat padanya illat memabukkan, disamakan dengan khomar mengenai hukumnya, dan haram hukumnya.
2.      Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap yang mewariskan, adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu melarang pembunuh dari memperoleh harta pusaka yang diambil dari sabda nabi Muhammad saw:
“tidaklah mendapat bagian harta pusaka, seorang yang melakukan pembunuhan”.
Karena adanya illat bahwa pembunuhan itu menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka tidaklah dibenarkan tujuan itu, dan dihukum dengan tidak memperoleh bagian harta pusaka. Sedangkan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang yang menerima wasiat kepada yang memberi wasiat, terdapat pada illatnya tersebut, maka diqiyaskanlah dengan pembunuhan yang dilakukan oleh pewaris terhadap orang yang mewariskan. Karena itu, terhalangnya orang yang diwasiati itu untuk memiliki barang yang diwasiatkan, lantaran dia membunuh orang yang memberi wasiat.
Kehujjahannya menurut jumhur para Ulama’ Islam, bahwa Qiyas adalah juga hujjah syar’iyah atas hukum-hukum mengenai perbuatan manusia (amaliyah), dan ia menduduki martabat yang keempat di antara hujjah-hujjah syar’iyah. Apabila tidak didapati dalam suatu kejadian itu, hukum menurut Nash atau Ijma’, akan tetapi terdapat kesamaan illat dengan suatu kejadian yang telah terdapat hukumnya dalam Nash, maka diqiyaskanlah kejadian yang pertama itu kepada kejadian yang kedua, jadi diberi hukum menurut hukumnya, dan hukum ini adalah ketetapannya menurut syara’. Jadi orang Mukallaf harus mengikuti dan mengamalkannya. Sedangkan para jumhur Ulama’ tersebut disebut sebagai orang yang menetapkan Qiyas (MutsbitulQiyas).
B.     Macam-Macam al-Qiyas
1.      Qiyas awlawi adalah Qiyas yang illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum yang disamakan (cabang) mempunyai hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-aslu karena kekuatan illat pada furu’.
            Umpamanya mengiyaskan keharaman memukul orang tua kepada ucapan “uf”, “uh”, “his”, “busyet” (berkata kasar) terhadap orang tua dengan illat menyakiti. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam surat al-Isra’ ayat 23.
Yang artinya “ Maka sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya (orangtua) perkatan “uh”, dan janganlah kamu membentak mereka.
2.      Qiyas musawi adalah Qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
Umpamanya mengiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haramnya. Hal ini dalam difirmankan oleh Allah swt dalam surat an-Nisa’ ayat 2.
Yang artinya “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu makan harta mereka. 
3.      Qiyas adwan adalah Qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
Umpamanya mengiyaskan apel kepada gandum dalam menetapkan berlakunya riba fadhal bila dipertukarkan dengan barang yang sejenis. Illatnya bahwa ia adalah makanan. Memberlakukannya hukum riba pada apel lebih rendah dari pada berlakunya hukum riba pada gandum karena illatnya lebih kuat.[3]
C.    Penyelesaian Dalil-dalil yang Berbenturan.
Dalam upaya penyelesaian perbenturan antara dua dalil hukum, para Ulama’ ushul fiqh bertolak pada suatu prinsip yang dirumuskan dalam kaidah:
”Mengamalkan dua dalil yang berbenturan lebih baik dari pada menyingkirkan satu diantaranya”.
            Ada tiga tahapan penyelesaian yang tergambar dalam kaidah itu:
1.      Sedapat mungkin kedua dalil itu dapat digunakan sekaligus, sehingga tidak ada dalil yang disingkirkan.
2.      Setelah dengan cara apapun kedua dalil itu tidak dapat digunakan sekaligus, maka diusahakan setidaknya satu diantaranya diamalkan, sedangkan satu ditinggal.
3.      Sebagai langkah terakhir, tidak dapat dihindarkan kedua dalil itu ditinggalkan, dalam arti tidak diamalkan keduanya.[4]













PENUTUP
Kesimpulan
            Qiyas menurut Ulama’ Ushul Fiqh adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
Contoh Qiyas Syar’iyyah dan Qiyas wadh’iyyah sebagai berikut:
1.      Meminum Khomr (Arak) adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash,yaitu hukum haram yang diambil dari pengertian sebuah ayat: Q.s al-maidah ayat 90.
Macam-Macam al-Qiyas
1.      Qiyas awlawi adalah Qiyas yang illahnya mewajibkan adanya hukum.
2.      Qiyas musawi adalah Qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
3.      Qiyas adwan adalah Qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.


DAFTAR PUSTAKA

Amir.Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2008).
Abd Wahhab Khallaf,kaidah-kaidah hukum islam,(Jakarta:Rajawali Pers,1979).


           



[1] Abd Wahhab Khallaf,kaidah-kaidah hukum islam,(Jakarta:Rajawali Pers,1979)hlm 76.
[2] Abd Wahhab Khallaf,kaidah-kaidah hukum islam,(Jakarta:Rajawali Pers,1979)hlm 77.
[3] Amir.Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2008)hlm. 157
[4] Amir.Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2008)hlm. 227

Tidak ada komentar:

Posting Komentar